Sunday, May 5, 2019

Cerpen Sunday: Broken...



***
"Jadi, mau berapa lama lagi kau bersembunyi di sana?" suara seorang iblis menghentikan nafas Ku. Aku mempererat buku yang ada di pelukanku.  Aku menelan ludah keras-keras. Refleks.
Aku merasa karena dialah yang menumukanku. Jika asisten atau pekerja rumah besar Scarlet Devil  lain menemukanku, mereka akan membiarkanku pergi begitu saja. Tapi, masalahnya dia tidak akan melakukannya.
Aku menggenggam erat sapuku, bersiap untuk kabur secepat kilat. Lari sebelum aku sempat mendapat masalah dengan Patcholi. 
Bukannya aku takut padanya, tapi aku hanya tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Ada eksperimen di rumah yang harus aku selesaikan.
"Dan, tolong jangan lari, Marisa Kirisame! Nyonya Patcholi hanya mengajakmu untuk minum teh!" panggilnya, "kalaupun kau mau coba, Nyonya Patcholi sudah melapisi perpustakaan ini dengan mantra pelindung!" 
Aku terkejut mendengar perkataan sang Iblis. Bukan karena Patcholi mengajaknya minum teh, itu sudah biasanya, tapi karena Patcholi sudah menyadari keberadaan Marisa di perpustakaannya dan sudah mengunci semua jalan keluar bahkan sebelum dia masuk. Biasanya dia tidak peduli.
Aku mengeluarkan diriku, dari balik salah satu kabinet buku.
Seorang gadis, dengan rambut dan bermata merah dengan gaun putih panjang yang tertutupi celemek hitam dan dasi putih, berdiri. Koakoma tersenyum tak berdosa dihadapanku. 
 "Baiklah, aku akan bertemu dengan Patcholi!" kataku.
"Sebelumnya, Tolong letakan buku yang kau curi di meja! Aku akan membereskannya nanti!"
Aku menghela nafas, sebelum melepaskan buku-buku itu.
"Baiklah, ayo ikuti aku!" kata Koakoma sebelum berbalik, melangkah menuju nyonyanya dengan aku mengikuti di belakangnya.
"Tidak biasanya kau datang jam segini." kata Koakuma, "ku harap tidak ada masalah?"
"Ti... tidak ada!" seru ku cepat, "aku hanya sedang ingin datang ke sini lebih awal! Itu saja!"
"Kau yakin?" tanya Koakuma, suaranya berubah rendah dan memelan, dan itu adalah sesuatu yang bisa dibilang langka, "aku dengar kau dan sang Gadis Surga..."
"Jangan!" Potongku dengan nada tajam. Dia langsung berhenti, menatapku dengan wajah penuh rasa kaget dan kasihan.
"A...aku tidak ingin membicarakannya!" 
Dia tidak menjawab apa-apa, hanya mengangguk dan berjalan kembali.
Beberapa saat kemudian, aku bisa melihat Patchouli menghisap tehnya dengan santai diatas meja merah di tengah perpustakaan. 
Patchouli Knowledge, sang pustakawan rumah besar Scarlet Devil, adalah penyihir dengan kekuatan yang besar( walaupun tidak ada apa-apanya dibandingkan aku). Kekuataanya berasal dari ratusan tahun membaca buku-buku yang tersedia di seluruh perpustakaan Scarlet Devil dan jumlahnya mendekati tak terbatas. Itu kenapa aku suka 'meminjam' satu atau dua buku dari perpustakaanya tanpa izinnya.
Seperti biasa, Patchouli tergelam dalam gaun tidur ungunya dengan sebuah topi besar ungu untuk menyelimuti rambut ungunya yang tak terurus. Mengenal dirinya, dia mengenakan pakaian seperti itu agar bisa langsung tidur di tempat, karena terlalu lemah (dan malas) untuk mengganti bajunya sendiri.
Namun, bukan hanya Patchouli, nyonya dari Rumah Scarlet Devil, Remilia Scarlet,  juga sudah menungguku. Itu adalah sesuatu yang langka, karena biasanya Remilia menghabiskan waktu dengan bermain dengan adiknya, Flandere Scarlet.
Keberadaanya benar-benar mengejutkanku. Namun, aku mencoba tidak menunjukkannya. 
Remilia Scarlet adalah seorang vampir yang datang entah dari mana. Sebagai seorang vampir dan nyonya rumah Scarlet Devil, dia selalu berpakaian mewah dan megah. Pakaian yang paling sering aku lihat adalah sebuah gaun putih dengan sedikit hiasan merah dan dilengkapi pita merah. Rambutnya berwarna biru terang pendek, tertutupi topi putih yang senada dengan gaunnya.
"Ah... Marisa! Tamu terakhir yang tak pernah diundang, tapi selalu terduga!" sapa Patchouli dengan senyum manis. Kepalanya terpangku dengan manis di atas kedua telapak tangannya.
"Seekor tikus tua tidak bisa diajarkan untuk berhenti mencuri!" sahut Remilia dengan senyum sedikit menghina, "sekalian saja kita ikat kakinya saat dia beraksi! iya kan, Patche?"
Patchouli hanya mengangguk setuju dengan perkataan temannya. 
"Hei... bukankah tidak sopan menghina tamu kalian?" kataku dengan nada geram sebelum duduk di meja yang tersedia dengan sapuku tepat di sampingku, "lagipula! Dimana tehku? Bukan kah ini pesta teh atau semacamnya?" 
"Jangan khawatir, Tehmu sedang disiapkan!" balas Remilia, "tapi ada hal yang perlu kita bicarakan dulu!"
"Dan aku yakin kau tau apa yang ingin kita tanyakan. Iya kan, Marisa?"
 Senyumnya kedua wanita itu mencurigakan, tapi aku mereka benar. Aku tahu kenapa mereka tiba-tiba mengajak (atau memaksa) aku untuk menikmati teh bersama mereka. Aku sudah menduga ini akan terjadi.
"Dari mana kalian tau?" tanyaku serius, tapi mereka tak mengubah pandangan mereka. 
"Oh.. kau tau, Marisa..." sahut Remilia sambil memainkan tangannya, "peri adalah tukang gosip paling aktif di Gensokyo, dan mereka tau gosip paling panas."
"Dan jangan mengulur waktu, Marisa! Kau tak akan bisa keluar dari sini, sampai kau menceritakan apa yang terjadi minggu lalu!" ancam Patchouli, masih dengan senyum.
Aku menghela nafas panjang. Sepertinya tidak ada jalan keluar lain dari sini yang tak melibatkan aku bertarung dengan seorang vampir kelas atas, seorang penyihir kelas atas, dan seluruh penghuni rumah Scarlet Devil. 
Aku menopang kepalaku, mengalihkan mataku agar mereka tak bisa melihat kekosongan yang telah ku rasakan dari kemarin. Aku benci mengingat apa yang terjadi minggu lalu, tapi aku tak bisa melupakannya. Walau baru minggu lalu, perasaan ini terasa sudah menyiksaku selama ribuan tahun. 
Aku harap aku tidak membiasakan diri untuk tidak pergi ke sana setiap hari. Setidaknya dengan begitu, aku tidak akan merasakan perasaan ini. 
Aku tidak perlu merasakan apapun saat Reimu mengusir dan membuangku seperti sampah.
***
"Hm... teh ini lebih enak dari kemarin! Kau semakin pandai menyeduh teh, Reimu!" kalimat ini adalah kalimat yang sama dengan kalimat yang aku katakan setiap hari kepada gadis yang sedang duduk disampingku.  Seorang gadis berambut panjang yang terikat dengan pita merah dan diselimuti pakaian merah putih penjaga kuil yang melambangkan tugasnya sebagai Gadis surga dan penjaga perdamaian Gensukyo, tanah sihir dan fantasi. Dia adalah sahabatnya, Reimu Hakurei.
"Hei, Marisa jangan cepat-cepat minum nya, nanti..." Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, aku sudah tersenyum besar dengan sebuah gelas yang kosong di tangan, "... kau tau apa? Sudahlah!"
Aku hanya tertawa geli melihat seorang gadis yang jauh lebih manis saat dia marah. Namun, membiarkannya marah terlalu lama akan membuatnya ngambek, dan aku tidak mau menghadapi Reimu yang sedang ngambek. Aku masih sayang nyawaku. 
"Iya... iya..." Sahutku masih dengan senyum, "aku akan minum teh ini dengan 'elegan'" kataku sebelum meminum teh dari gelas yang sudah ku isi kembali. Aku meminumnya dengan perlahan dan meminumnya dengan gaya yang akan dilakukan Remilia. Dengan maksud penuh untuk mengejek. 
Aku mengharapkan tawa, atau setidakynya senyum, tapi Reimu masih bersungut marah.  Aku tak punya cara lain, aku harus melakukan jurus rahasia ku. 
Memanfaatkan bahwa dia masih ngambek dan merungut marah, aku mendekatinya tanpa dia sadari. Menunggu momentum yang tepat, aku membanting kepalaku ke panngkuannya, membuang topiku entah kemana, dan membuatnya kaget dan berteriak. 
"AHHH... " Reimu teriak, "apa yang kau lakukan, Marisa?" 
"Haum...." Aku membuka mulutku lebar-lebar, pura-pura menguap, "aku sedang mengantuk, jadi aku mencari bantal paling nyaman! Dan kau..." aku menggerak-gerakan kepalaku, seakan mencoba mencari posisi yang nyaman, "adalah bantal terbaik yang ada di sini!" 
Wajah Reimu memerah, "ka... kau... kau..." dia gagap kehilangan seribu bahasa, kemungkinan otaknya masuk dalam mode hiperaktif dimana dimana segalanya masuk ke dalam pikirannya dan tidak ada satupun yang bisa keluar. Ini lebih sering terjadi daripada kebanyakan orang kira. 
Akhirnya dia menghela nafas panjang, "lakukanlah sesukamu!" dia menngalihkan pandangannya. Walaupun tampak marah, aku tahu bahwa sebenarnya dia hanya malu. Dan itu seribu kali lebih manis, dibandingkan saat dia marah.
Aku hanya tersenyum besar di hadapannya dan, melihatku, wajah Reimu langsung melunak. Perlahan dia tersenyum. 
Aku membiarkan mataku tertutup, dan membiarkan Reimu mengusap rambutku. 
Ini adalah momen favoritku. Menikmati angin sepoi-sepoi bersama dengan Reimu di balkoni kuilnya di hari yang cerah untuk menikmati helaian bunga sakura bukanlah hal yang langka, tapi aku sangat menikmati momen seperti ini diantara membantunya menyelamatkan Gensukyo dari kehancuran, atau mengikuti acara sosial dan pesta yang diadakan yang lain, serta urusan mereka masing-masing. 
Terkadang kita ngobrol, saling menggoda, atau bahkan hanya berada di samping satu sama lain, tapi aku selalu mendabakannya saat kita terpisah. 
Mungkin, Itu kenapa aku selalu datang ke kuil Hakurei setiap kali aku sempat. 
Aku yakin, setidaknya harap, Reimu juga menganggap momen seperti ini juga berharga.  
Namun, mendadak Reimu berhenti mengelus rambutku, "Apa yang kau lakukan di sini,  Yukari?" 
Mataku langsung terbuka lebar kaget. Aku membangkitkan diriku, sebelum kenyataan terbelah dihadapan kami berdua. Didalam belahan itu, terlihat mata yang tak terbatas jumlahnya. Seorang wanita berambut pirang dengan gaun panjang pink dan ungu dan sebuah topi putih yang dihiasi pita merah muncul dari belahan kenyataan. Di tangannya tergengam sebuah payung putih yang menyempurnakan kombinasi gaya barat dan timur yang menyelimuti dirinya. 
Aku mengenalinya sebagai Yukari Yakumo, seorang youkai yang bisa mengendalikan batas apapun. Baik itu ruang, waktu, mimpi, dunia, apapun, bisa dia lalui dan kendalikan, membuatnya salah satu Youkai terkuat di Gensukyo. Kenyataan itu membuat sifatnya menjadi sangat santai dan iseng. Dia sering membuat masalah untuk Reimu dan aku. Walaupun begitu, sebenarnya dia adalah youkai yang baik. Dia sering membantu kita berdua saat dibutuhkan. Yang aku tau juga, dia sering bertindak sebagai mentor Reimu.
Namun, ada yang berebeda dari nya. Matanya berbeda. Kedua bolah mata itu menunjukkan bahwa dia serius dan tajam. Dan kedua mata itu mengarah kepada diriku.
Sesaat kemudian, dia mengalihkan matanya ke Reimu, "Reimu, ada yang harus kita bicarakan..." matanya bergerak, berpindah ke diriku lagi, "dalam privasi!" 
Aku dan Reimu saling bertatap muka, tidak tau ancaman apa yang bisa membuat Yukari Yakumo bisa tampak begitu serius. 
Akhirnya Reimu mengangguk pada Yukari Yakuomi. Dia memberikan jalan kepada Reimu, membawanya ke belahan kenyataanya. Reimu, dengan sikap siaga, mengikutinya, bersiap untuk apapun yang bisa terjadi. 
Menunggu Reimu di sini merupakan suatu siksaan. Membayangkan apa saja yang mungkin terjadi membuat ku terus gelisah, tapi aku tak bisa tenang. Kakiku terus bergerak mondar mandir dan gigi tak bisa berhenti mengunyah kuku jempolku. Aku tak bisa menghentikan keringat dingin dari leherku dan langit yang tiba-tiba mendung gelap sama sekali tidak membantu.
Akhirnya, kenyataan kembali terbelah dan Yukari Yakumo serta Reimu keluar dari sana. Namun, ada yang berbeda. Matanya gelap. Sesuatu yang tak pernah aku lihat sebelumnya. 
"Kau tau apa yang harus kau lakukan, Reimu!" kata Yukari Yakumo kepada Reimu, sambil meletakan tangannya ke bahu Reimu.
"Aku harap kau membuat pilihan yang benar!" Yukari Yakumo pun menghilang di balik pecahan kenyataan yang kembali tertutup.
"Reimu?" aku mencoba mendekatinya, ingin bertanya tentang maksud Yukari Yakumo. Namun, aku bahkan belum sempat mendekatinya, sebelum Reimu menyerangku dengan tongkat Goheinya. 
Hanya instingku yang membuatku berhasil menghindari energi serangan Reimu. 
"APA YANG KAU LAKUKAN?" Seruku kaget. 
"Keluar dari sini!" 
"Apa?"
"KELUAR DARI SINI! DAN JANGAN PERNAH MUNCUL DI HADAPAN KU LAGI!" Dengan marah, Reimu melempar kertas mantranya. 
Aku sempat menghindar, tapi dia hanya melempar lebih banyak. 
Aku memanggil sapuku. Aku terbang ke langit untuk mencoba menghindar, tapi Reimu mengikutiku dan terus menyerang diriku.  
Namun, aku ceroboh. 
Saat aku menyadari gerakan singkat dari tongkat Goheinya, aku terlambat melihatbahwa diriku sudah dikelilingi oleh kertas mantra sihir dan energi sihir.
"FANTASY SEAL!!!
Aku belum sempat kaget, sebelum cahanya terang mulai memenuhi pandanganku dan merasakan tubuhku diledakan oleh ledakan energi. 
Saat semuanya selesai, aku bisa merasakan diriku tergeletak di tanah. Jangankan bergerak atau membuka mata, hanya menjaga kesadaranku saja sudah sulit. Aku rasa aku akan mati di sini. Dibunuh oleh sahabatku sendiri yang mendadak kehilangan kendali. Aku seharusnya tau bahwa kematian adalah bagian dari pekerjaan, tapi...
"...maaf..." aku bisa remang-remang mendengar suara Reimu. 
"Maaf, Marisa..." aku merasakan air hujan berjatuhan, namun aku merasakan air lain. Tetesan air lain yang hangat. Aku tau mereka datang dari mana, karena aku masih bisa mendengar isakan gadis yang terluka sebelum tak sadarkan diri. 
***
"Saat aku bangun, aku sudah berada di rumah!" ceritaku, "aku mencoba kembali ke kuil Hakurei, tapi kuil itu sudah dilindungi oleh mantra pelindung khusus yang tak bisa ku pecahkan, dan... aku rasa dia sudah membenciku. Aku rasa dia sudah tidak mau bertemu denganku lagi." 
Aku menatap Remilia dan Patchouli. Tampaknya mereka sangat serius mendengarkan ceritaku, setidaknya Remilia tampaknya serius sedangkan Patchouli mencoba melawan rasa kantuknya yang menandakan bahwa ia serius. 
"Jadi, kau menyerah?" tanya Remilia. 
"Aku..." Aku terdiamn, tidak tau apa yang harus ku katakan, karena aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Perasaan dan pikiran Reimu tidak dipengaruhi, aku menghabiskan satu minggu untuk memastikan itu. 
Perasaan dan kata-katanya berasalah dari hatinya. Entah kenapa dan entah bagaimana, Reimu, sahabatku, sudah sepenuhnya membenciku dan tidak mau lagi berhubungan denganku. 
Setelah semua yang kita lalui, aku ingin percaya bahwa ada yang bisa aku lakukan untuk tetap bersamanya. 
Tapi tak ada lagi yang bisa aku lakukan. "Sepertinya..." 
Namun, Remilia memotongku dengan mengangkat tangannya,  "Tahan perkataanmu!" suara troli kecil terdengar dari jauh, "tehmu sudah datang!"
Seorang gadis dengan pakaian pelayan biru datang ke arahku dengan sepot teh panas dan beberapa gelas keramik, "Ah, iya, Sakuya! Berikan teh itu kepada manusia ini! Aku yakin dia sudah sangat haus!" Perintah Remilia yang dijawab dengan anggukan oleh Sakuya.
Sang pelayan menuangkan segelas teh untukku. Aku tidak membuang waktu untuk menghirupnya.  Namun, aku langsung menyadari sesuatu.
"Rasanya tidak enak!" seruku dengan nada tajam. 
Sakuya tampak kaget mendengar perkataan itu, tapi itu hanya sesaat, "mohon maaf, jika tehnya tidak sesuai dengan standar anda! Aku akan buatkan yang lain!" 
Namun, sebelum Sakuya sempat beranjak dari tempat dia berdiri, Remilia tersenyum dan menghentikannya, "Tidak perlu, Sakuya! Teh apapun yang kau berikan tak akan memuaskan lidahnya!" 
"Remi benar, Sakuya!" Tambah Patchouli yang perlahan kembali segar, "teh tidak akan bisa memulihkan hati yang terluka! Apalagi menghentikan air mata yang mengalir!"
"Apa maksu..." sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku,  Remi sudah menawarkan sapu tangan miliknya. 
Pada saat itulah aku menyadari bahwa aku sudah meneteskan air mata entah sejak kapan. Aku mencoba mengusap air, tapi air mataku terus mengalir.
Aku merindukan teh buatan Reimu, aku merindukan suaranya, aku merindukan pangkuannya, aku merindukan keberadaannya. Aku merindukan Reimu, dan karena itu, ini bukanlah momen untuk mengangis. 
Aku menghela nafas panjang dan menghentikan air mataku.
"Biar aku tanya lagi, Marisa Kirisame!" tanya Remilia, "apa kau sudah menyerah dan membuang hubunganmu dengan sang Gadis Surga!"
Aku tersenyum, "aku adalah Marisa Kirisame, penyihir biasa dari Gensukyo! Aku adalah Sahabat dan orang yang akan mengalahkan gadis surga Gensokyo!" Seruku, "aku tidak mengenal kata menyerah!"
"Kalau begitu, hadiah dari kami tidak akan terbuang percuma!" Remilia tersenyum, sebelum memberikan Patchouli anggukan. 
"Marisa," Patchouli memanggilku, "sejak Sakuya meberitahu tentang mantra pelindung khusus  di sekitar kuil Hakurei, kami mencurigai ada sesuatu yang aneh!"
"Jadi, aku mencoba mendatanginya sendiri!" lanjut Remilia, "aku mencoba masuk, tapi mantra pelindung itu langsung memindahkanku ke tempat lain!" 
"Aku mencoba mengadakan kekacauan di sekitar kuil itu, tapi aku sama sekali tak mendapat respon dari sang putri surga!" Lanjut Remilia. "Jujur, tak ada yang lebih membosankan daripada menggoda gadis yang tak akan melakukan apa-apa!"
"Saat itulah, Remilia memintaku bereksperimen untuk membongkar mantra pelindung itu!"
"Oh, jadi itu yang kalian lakukan seharian selama seminggu di perpustakaan dan mengusir semua orang?!" tanya Sakuya, "tapi, tapi bukankah mantra itu hanya mantra biasa ?"
Sakuya tidak bisa lebih salah, "Tidak!" Sahutku, "Mantra itu jauh lebih kuat daripada apapun yang pernah kurasakan. Mantra itu spesial karena mantra itu secara spesifik, bukan membuatmu tidak dapat memasuki suatu wilayah, tapi menciptakan sebuah jarak antara dirimu dan tempat tujuanmu!"
"Itu karena mantra pelindung itu dibuat oleh Yukari Yakumo, sang youkai batas. Mantra pelindung itu sangat kuat sampai tak bisa dihancurkan oleh batu filsuf (philosopher Stone)milik Patche!" Lanjut Remilia, sebelum mengisap sedikit tehnya.
"Jadi... mantra pelindung itu tidak bisa dihancurkan?" tanyaku kehilangan harapan.
"Kami tidak pernah bilang kami gagal!" Remilia tersenyum, yang membuatku bingung. Mereka berdua tampak senang melihatku kebingungan. 
Remilia mengangkatkan tangannya, secara spesifik, dia mendekatkan jempolnya ke mulutnya. Dengan santai, dia menggigit ibu jarinya.  Aku dan Sakuya sempat terkejut, tapi Patchouli dan Remilia tampak begitu santai, kami merasa ini hanyalah permainan bagi mereka berdua. Remilia bahkan tidak tampak kesakitan.
Darah yang mengalir dari jarinya terus mengalir, sampai Pactchouli mengangkat tangannya, mengalirkan sihirnya ke sana. Perlahan tetesan darah itu berkumpul, menggumpal, dan mengeras. 
Sampai di tangannya terbentuk sebuah kristal merah darah yang bersinar teras merefleksikan cahaya lampu. Aku sudah bisa merasakan aura sihir yang sangat kuat dari benda itu, sampai aku bisa merasakan leherku merinding.
"Aku persembahkan pada kalian, kristal darah!" seru Remilia. 
"Dengan menggabungkan kekuataanku ke dalam darah vampir Remi, kami berhasil menkristalkan  sumber energi sihir yang cukup untuk menghancurkan mantra pelindung di kuil Hakurei!" jelas Patchouli, "dan kami memberikannya kepadamu!" 
Aku mengambil kristal darah itu. Hanya dengan memegangnya saja, aku tau bahwa ini adalah senjata yang berbahaya dan sumber energi yang sangat berharga, jadi...
"Apa yang kalian inginkan?" tanyaku, "kenapa kalian memberikan ini padaku?" Pertanyaan itu membuat mereka berdua tertawa geli. 
"Hihihi... tenang saja..." kata Remilia diantara tawanya, "kau sudah membayarnya!" 
Aku mengangkat alisku.
"Apa maksud..."
"A...A...A!!!" Patchouli memotongku, "kau punya seorang putri untuk ditemui dan kita punya urusan lain untuk di kerjakan, jadi..." Patchouli menjentikan jarinya, "aku sarankan kau pergi sekarang!"
Aku tau dia benar, jadi aku mengambil sapuku dan terbang secepat mungkin.
***
Jadi, aku berdiri di sini lagi, di depan kubah kuning kasat mata.
Terakhir kali aku berdiri di sini, aku menghabiskan dua hari tanpa istirahat untuk mencoba memecahkan mantra pelindung ini. Aku tidak mau ingat betapa putus asanya aku saat mencoba memecahkan mantra ini. Seakan dibakar oleh ambi... bukan ketakutanku sendiri, aku melakukan dan mencoba segalanya. Sampai akhirnya aku menyerah dan hanya bisa meluapkan emosiku dengan air mata.
"Baiklah, ayo kita coba ini!" Aku mengambil kristal merah dan meletakannya di kubah kuning tersebut. 
Listrik merah dan kuning terbang kemana-mana. Secara singkat, kubah kuning itu langsung retak dan pecah seperti sebuah kaca. 
"Kau masih mau masuk?" Aku langsung berbalik dan menatap Yukari Yakumo. "Reimu tak akan menerimamu lagi, dia bahkan tidak akan berbelas kasihan lagi padamu! Jika kau masuk, Reimu akan terpaksa membunuh sahabatnya!"
"Jadi, itu yang kau katakan padanya!" gumamku, akhirnya mengerti. Aku akhirnya mengerti perasaan Reimu dan apa yang dilakukan sekarang.
"Walaupun begitu, aku akan tetap masuk!" karena jika tidak, kita berdua yang akan hancur.
Dia menjawab dengan tawa kecil. "lakukan saja apa yang kau mau!"
Aku berjalan masuk ke tempat yang aku datangi setiap hari. Namun, ada yang aneh. Tempat ini kotor dengan daun yang berantakan dimana-mana.
Di ujung depan kuil besar yang biasa ku datangi, Reimu sedang menyapu daun yang bertebangan, tapi dia tampak berbeda. Matanya yang biasanya hidup, sekarang kehilangan  cahayanya. Dia menyapu kuil bagaikan sebuah mesin yang tidak tau apa lagi yang harus dilakukan
"Reimu!" 
Dia mengangkat kepalanya kaget, seakan melihat hantu. Tapi, dia langsung tersenyum pilu. 
"Lama sekali, Marisa!" katanya
Aku tersenyum, "Kan pahlawan ksatria selalu datang terakhir!" 
"Hahaha!" Dia tertawa kecil, "Kau dan ksatria di cerita punya satu kesamaan! Kalian sama-sama selalu mengejar sang putri, sampai lupa bahwa sang putri tak selalu mau dikejar " 
"Hahaha!" aku ikut tertawa, "hei! Lain kali, tuan putri seharusnya bilang dulu jika ingin di rumah sendiri! Gak usah sampai nangis sampai hampir menghabisi sang ksatria!"
Reimu tampak dia ingin tertawa lebar, tapi  "Kurasa kau benar!"
Kita berdua terus berbincang seberntar sambil tertawa seperti biasa, sesuatu yang kita butuhkan sebelum sesuatu yang kita tau akan datang. 
"Hei, Marisa!" panggil Reimiu "kenapa kau datang?" 
Heh... saat di tanya begitu, aku benar-benar tidak tau jawabannya. Kenapa aku mau datang ke sini? Untuk bertemu kembali dengan sahabat, atau ada alasan lain. Apa aku benar-benar peduli?
"Aku hanya ingin." 
"Jawaban yang cocok untukmu, Marisa!" dia tersenyum, sebelum wajahnya berubah pilu gelap "dan karena itulah, kali ini aku harus menghabisimu! Tidak ada lagi belas kasihan!" 
Akupun berubah serius, "kenapa kau harus menghabisi ku, Reimu?" 
"Karena, aku tak boleh jatuh cinta pada siapapun! Termasuk dirimu!" 
Sebelum aku sempat memproses apa yang dia katakan, puluhan kertas mantra sudah melayang ke arahku. 
Aku melompat menghindar, tapi Reimu sudah menjulang tinggi di atas  kepalaku. Dengan ayunan kilat, tubuhku terbantik ke tanah. 
Namun, Reimu belum selesai. Aku sudah melihat  beberapa puluh kertas mantra lain, tapi aku berhasil berguling menghindar. 
Bertarung dengannya di tanah bukan merupakan ide bagus, aku harus membawanya ke udara. 
Dengan rencana itu, aku mengagkat sapu ku terbang ke angkasa. Reimu jelas mengejarku.
Menghindari serangannya di udara jauh lebih mudah, tapi bukan berarti aku bisa bersantai karena...
Boom
Aku berhasil menghindari ledakan salah satu kertas mantra Reimu. Seperti yang ku duga, dia menyiapkan perangkap di udara. 
Aku mengeluarkan Mini- Hakkero ku dan mengangkatnya ke atas. 
"NON-DIRECTIONAL LASER!!!"
Dari Mini-Hakedo keluar laser energi sihir berwarna warni yang menyerang ke seluruh arah. Sementara Reimu mencoba menghindari semua laser yang muncul, kertas mantra perangkap Reimu semua meledak hancur.
Setelah langit kembali aman, laser-lasernya pun meredup.
"Wow!" seru Reimu, "kau baru saja menghancurkan hasil kerjaku selama dua hari!"
"Apa yang bisa ku bilang?" jawabku tersenyum lebar sambil memegang ujung topi sihirku, "aku terlalu hebat untuk kebaikan ku sendiri!" 
Senyum Reimu berubah pilu, "Senyummu itu..." dan dia langsung menjadi geram, "benar-benar MENYEBALKAN!"
Reimu terbang menerjangku. Dengan gerakan lain dari tongkat Goheinya, bola energi dan kertas mantra yang jumlahnya ratusan, mungkin ribuan.
"FANTASY NATURE!" 
Sial!!!
Dengan cepat, aku mengangkat tubuhku dari sapuku. Aku harus menggunakan kedua kakiku untuk mengendalikan sapuku, biasanya itu mempermudahku mengendalikan sapuku. Dengan gesit, aku mencoba menghindari semua bola energi dan kertas mantra Reimu, beberapa berhasil mengenaiku.
Menghindari ribuan kertas mantra dan bola energi adalah hal yang gila, tapi melakukan hal gila adalah pekerjaanku. Maksudku, aku pernah menghadapi vampir dan dewa kematian, jadi ini bukan apa-apa. Namun masalahnya, ini bukan petarungan biasa! Ini pertarungan yang tak bisa ku menangkan.
Setelah sekian lama, akhirnya semburan serangan Reimu berakhir. 
Aku menghela nafas panjang, tapi aku melihat Reimu mengayunkan tongkat Goheinya 
dan disekelilingku sudah sekali lagi dipenuhi oleh kertas mantra sihir dan bola energi sihir. 
Bagus. 
Aku terbang secepat kilat ke arah Reimu. Mini- Hakkero di tanganku teraliri semua energi yang bisa ku berikan. 
"MASTER..."
Ayunan terakhir, "FANTASY SEAL!"
"SPARK!!!" 
Sebuah cahaya laser raksasa mengalir dari Mini-Hakkero ku dan melesat ke arah Reimu. Namun, cahaya laser itu tertahan oleh ledakan Fantasy Seal, mengakibatkan kedua buah mantra saling meniadakan satu sama lain dan menyebabkan ledakan besar. 
Ledakan yang cukup besar, sampai Reimu harus menutup matanya.
Sesuai rencana. 
"REIMU!" 
Belum Reimu sempat bereaksi, aku melesat dan melompat dari sapuku.  Dia tidak bisa menghindar saat meyadari bahwa kedua tangaaku merangkul lehernya dan kita berdua terjatuh dari langit.
Hanya dalam hitungan detik, kita berdua bisa merasakan kerasnya tanah.
Beruntungnya, aku berhasil jatuh di atas Reimu. 
Aku menahan kedua tangannya.
Aku bisa menatap wajahnya yang terang terus mencoba melepaskan diri, dia begitu merasa tersiksa, sampai aku tak sampai hati.
Namun, aku tak bisa melepaskan nya. Tidak sebelum kita menyelesaikan ini. Tidak sebelum aku meluapkan perasaanku. 
"Reimu..." bisikanku kecil tapi cukup untuk terdengar, "kenapa kau tak pernah bilang?"
Reimu langsung terdiam kaget, bukan oleh pertanyaanku, tapi karena tetesan air yang berjatuhan ke wajahnya. 
"Setelah semua yang kita lalui bersama, setelah segalanya..." isakku.
"Marisa..." 
Dia mencoba memanggilku dengan penuh rasa sayang, tapi itu tidak cukup untuk menghentikan airmataku. "Aku... aku pikir ini akan lebih mudah jika kau membenciku! Jika aku membuat tembok diantara kita, aku harap aku bisa..." 
"Saat Yukari bilang bahwa aku tak boleh jatuh cinta padamu, Saat dia bilang dewa akan menarik kekuatanku jika aku menjalin hubungan dengan seorang gadis, aku mencoba menolak perasaan ini. Namun, aku tak bodoh! Aku tak akan bisa! Jadi, aku harap! Jika... satu-satunya cara untuk menjaga Gensokyo adalah... adalah... tap... aku hanya tak bisa... "
Reimu mulai bergetar keras, "aku tidak tau apa yang harus..."
Mendadak dia merasakan bibirnya di tekan oleh sesuatu yang hangat. Dia mencoba menolaknya, tapi kemanisan yang dia rasakan mengambil alih logika Reimu. Dia membalas ciuman polos Marisa dengan penuh hasrat dan rindu. Seakan waktu berhenti dan hanya rasa satu sama lain yang bisa mereka rasakan. 
Akhirnya setelah sekian lama, Marisa menarik bibirnya. "Yang harusnya kau lakukan adalah ME.NGA.TA.KAN.NYA PA.DA.KU!" 
Wajah Reimu merah panas dan aku yakin wajahku tidak beda jauh. "Jika dewa mau mengambil kekuataanmu, aku sendiri yang akan menghajarnya sampai mau mengembalikan pekerjaanmu! Aku yakin aku bisa melawan dewa dengan mudah!"
Reimu terdiam sebentar. "He... he... Hahahaha" Reimu akhirnya tertawa penuh senyum, sesuatu yang begitu aku rindukan. 
"Kau benar-benar ya..." kata Reimu. 
Aku melepaskan tangan Reimu, membiarkan badanku terbanting ke tanah. Energiku habis. Namun, setidaknya aku bisa tidur beristirahat di samping orang yang ku cintai.
"Wuh... lain kali, ingatkan aku untuk jangan membuatmu marah!" seruku, "aku tidak mau hampir membunuhmu setiap hari!"
"HAH...." Reimu langsung bangkit bangun, "bukannya kamu yang hampir meledak beberapa kali, ya?"
"Ah... itu mah aku mau ngalah!" balasku. 
Reimu merengus marah, mendekatkan wajahnya ke diriku, "bo.hong!" 
Aku hanya tersenyum, sebelum lama dia ikut tersenyum. 
"Jangan pernah tinggalkan aku lagi, Reimu!" gumamku. 
"Lebih baik aku mati daripada harus berpisah denganmu, Marisa!" balasnya sebelum kita berbagi ciuman sekali lagi!
"Oh, iya! Kenapa kau meminta Yukari untuk membuat mantra pelindung di kuil Hakurei?" tanyaku, tapi dia malah bingung.
"Apa maksudmu? Bukanya kamu yang meminta Remilia untuk membuat mantra pelindung karena mengira aku kehilangan kendali dan menggila?" balas Reimu. 
Butuh beberapa detik untuk kita bertatapan, butuh beberapa detik lagi untuk menyadari bahwa kita harus pergi ke suatu tempat.

.
.
.
.
.
.

*Epilog* (Third POV)
"Oh... itu pertunjukan yang bagus!" kata Remilia. 
"Aku tak mengerti kenapa kau menganggap itu menarik, Remi." sahut Patchouli hampir tetidur, "kau sudah tau akhirnya! Kalau kau tanya aku, seharusnya ini terjadi jauh... jauh.... lebih dulu! Dan jelas bukan karena dorongan kita!"
Remilia dan Patchouli menatap sebuah bola kristal yang menjukkan Reimu dan Marisa yang sedang menikmati kehadiran satu sama lain, seblum gambar itu menghilang.
"Ah... jangan begitu, Patche!" sahut remila, "setidaknya kita bisa menyaksikan tontonan ekslusif!" 
"Aku senang kalian menikatmatinya!" 
Remilia dan Patchouli berbalik kaget, sebelum menyadari bahwa yang dibelakang mereka hanya Yukari Yakumo.  
Ini sudah menjadi rencama mereka dari awal. Yukari dan Remilia merasa geram, karena mereka belum juga menyatakan perasaan mereka pada satu sama lain, jadi mereka membuat rencana besar-besaran.
Yukari Yakumo bertugas memisahkan mereka berdua, sedangkan Remilia dan patche bertugas membuat mantra pelindung yang tak bisa dipecahkan mereka berdua. Mereka hanya perlu menunggu semua berjalan seperti domino.
"Jujur, aku tidak yakin kita akan selamat saat mereka sadar kita lah yang bertanggung jawab atas apa yang mereka alami." kata Yukari Yakumo.
"Oh... ayolah kita punya waktu!"
"Sampai gadis surga dari kuil Moriya, atau siapapun yang punya pengetahuan lebih banyak tentang gadis surga dari mereka berdua,dan itu artinya hampir semua orang, mengatakanyang sebenarnya pada mereka, jadi...." 
"paling lama satu minggu sebelum mereka membunuh kita bertiga!" 
Tiba-tiba, Sakuya datang dari gerbang perpustakaan.
"Mohon maaf, nyonya!" kata Sakuya, membungkuk, "Nyonya Hakurei dan Nyonya Kirisame sudah ada di depan pintu gerbang!"
"Oh sial!" Remilia kaget, "apa yang harus kita..." 
Saat Remilia berbalik, Yukari Yakumo sudah menghilang dan Patchouli telah tidur dengan mantra pelindung di sekitar tubuhnya.
"Oh sial!" bisik Remilia sebelum pintu perpustakaan meledak.
(Nah, bagaimana menurut kalian? Apa cerita ini bagus menurut kalian? Apa menghibur? Apa jangan-jangan jelek? Apa ada yang kurang menurut kalian? Kalian boleh berikan komentar kalian di bawah.

Seperti biasa silahkan, jika kalian suka konten saya, silahkan follow blog saya atau follow by email di atas kanan.

Link gambar: http://gallery.minitokyo.net/view/464971

 Saya juga akan dengan senang hati membaca karya tulisan kalian dan memberikan pandangan lain untuk karya anda. Jika tertarik, email saja karya kalian ke: Xevinkeng1903@gmail.com (Email Saudara saya) dengan subject nama dan judul karya kalian, satau WA ke no: 08128165275

Untuk sekarang, Terima kasih telah membaca!)

Reimu Hakurei, Marisa Kirisame, dan karakter lainnya adalah milik ZUN.

No comments:

Post a Comment